Artikel

Soal Hate Speech, Belajarlah dari Fans Sepakbola

PILPRES 2019 akan segera dihelat. Menuju hari H, kedua pasangan capres-cawapres, serta partai politik dan simpatisan kedua kubu semakin gencar berkampanye.

Sampai tulisan ini saya buat, saya rasa keduanya lebih banyak menggunakan negative campaign ketimbang positive campaign. Tak ada masalah memang. Hanya saja, bagi generasi milenial dan pemilih pemula seperti teman-teman di lingkungan saya, Pilres edisi ini menjadi kurang menarik.

Negative campaign memang tidak dilarang, karena pada dasarnya, kampanye ini digunakan untuk mengumbar kekurangan kubu seberang berdasarkan fakta yang sudah terjadi.

Namun, para simpatisan dari masing-masing kubu agaknya kurang memahami apa itu negative campaign. Kampanye yang mereka lakukan di tengah masyarakat justru banyak yang terindikasi menjadi black campaign, bukan lagi negative campaign.

Negative campaign dan black campaign adalah dua hal yang berbeda. Negative campaign harus berdasarkan fakta yang sudah terjadi, sedangkan black campaign cenderung ke arah yang tidak berdasarkan fakta atau fitnah, juga mengandung unsur hate speech.

Isu kebangkitan PKI, khilafah, robohnya ekonomi, hingga bangkitnya Orde Baru justru yang ditampilkan oleh kedua kubu kala berkampanye. Padahal isu-isu tersebut tidak cukup efektif untuk mengambil simpati masyarakat, khususnya bagi mereka yang hingga kini belum menentukan pilihannya di Pilpres 2019.

HATE SPEECH BUKAN PILIHAN

Dalam kehidupan bermasyarakat, tentu kita tidak asing dengan yang namanya saling mengejek satu sama lain. Entah atas dasar bercanda, mencairkan suasana, sampai memang punya masalah pribadi, hal ini seakan lumrah bagi kita.

Semestinya, lumrah bukan berarti kita membiarkan itu terus terjadi begitu saja. Masyarakat harus bisa memilah, mana yang kadarnya bercanda, mana yang bisa merugikan pihak yang diejek.

Batasan-batasan ini kadang menjadi sangat abu-abu jika konteks ejekan tersebut lebih kompleks. Bahkan, bisa menjadi hate speech jika yang disampaikan itu tidak terbukti benar dan digunakan untuk menjatuhkan reputasi seseorang.

Hate speech ini sendiri sudah dilarang untuk dilakukan. Ada regulasi yang mengatur agar hate speech tidak dibuat seseorang dalam bentuk apapun. Regulasi ini tertuang dalam Undang-Undang, seperti UU No. 10 Tahun 2008 tentang ITE Pasal 28 ayat 1 dan 2, dan Pasal 45 ayat 2; Pasal 156, Pasal 157 ayat 1 dan 2, Pasal 310 ayat 1, 2 dan 3, serta Pasal 311 ayat 1 KUHP; juga Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis.

Sudah banyak contoh kasus yang menjerat seseorang akibat hate speech. Sepanjang tahun 2018 saja, Polri sudah menyelesaikan 152 kasus hate speech dari total 324 kasus.

Di wilayah Kaltim, Polda Kaltim juga kerap menangani kasus hate speech. Penanganan yang dilakukan Polda Kaltim tidak hanya berfokus pada pengungkapan dan penyelesaian kasusnya, tapi juga melakukan berbagai upaya preventif dan upaya preemtif, baik melalui sosialisasi, edukasi, sampai penggalakan isu tolak hate speech di media sosial milik mereka.

Post Instagram @poldakaltim sebagai bagian dari upaya preventif dan pre-emtif penyebaran hate speech.

BELAJAR DARI FANS SEPAKBOLA

Ejek-ejek semacam ini juga membudaya dalam lingkungan fans sepakbola. Baik fans klub sepakbola lokal, sampai klub asing, ejek-ejek atau banter dalam sepakbola memang hal yang dinilai sudah biasa.

Olok-olok ini bisa terjadi di mana saja, mulai dari sekolah, tempat kerja, hingga warung kopi. Hal yang memang sulit dihindari, sesulit terhindar dari minat menonton pertandingan olahraga. Menonton sepakbola dan banter tidak mungkin dipisahkan, yang mungkin bisa dilakukan hanyalah mengatur batasnya.

Nah, terdapat perbedaan antara ejek-ejek yang dilakukan partisipan kampanye kubu capres-cawapres dengan fans sepakbola. Kebanyakan fans sepakbola sudah mengenal batas ejekan mereka. Yang melampaui batas biasanya adalah kelompok suporter dari dua klub yang memiliki rivalitas kental.

Banter yang kerap terjadi di sepakbola contohnya menyoraki lawan yang gagal menyelesaikan peluang terbuka, dan memang tidak dilarang. Namun di lain kesempatan, para fans sepakbola sudah paham bahwa mereka tak boleh menyoraki lawan ketika lagu kebangsaan sedang dikumandangkan. Di sinilah kemudian batas-batas banter tersebut mulai terlihat.

Sepakbola sendiri tidak selamanya mendukung adanya permusuhan, meski dilakukan dengan batas-batas tertentu. Beberapa orang bisa jadi tertawa ketika kejadian Gerrard terpeleset saat menghadapi Chelsea pada 27 April 2014 lalu.

Tetapi di sini lain, pendukung Real Madrid yang jelas merupakan rival dari Barcelona, bisa dengan senang hati memuji dan menghormati seorang sosok bernama Ronaldinho, yang notabene merupakan salah satu pemain terbaik Barcelona.

Hal-hal yang seperti inilah yang rasanya bisa dipelajari oleh simpatisan kedua kubu capres-cawapres dari fans sepakbola.

Ejekan yang penyampaiannya masih dalam batas dan berdasarkan fakta itu tidak dilarang, karena tergolong dalam negative campaign. Tapi kita tetap harus sama-sama bisa menghormati satu sama lain dengan tidak melakukan hate speech. [*]

Penulis: Harry Firman Darmawan, asal Balikpapan, Kalimantan Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *