Artikel

Kebebasan Berekspresi Tak Sebebas Itu!

Oleh: Harry F. Darmawan

INDONESIA merupakan negara yang tahu betul makna kebebasan berekspresi. Oleh karenanya, Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28E ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya,” menjadi produk hukum yang melindungi kebebasan ini.

Namun, kebebasan berekspresi bukan berarti semua hal menjadi sangat mungkin untuk dibagikan ke muka umum. Terlebih di sosial media. Memang benar, salah satu hak fundamental dalam negara demokrasi adalah kebebasan berekspresi. Akan tetapi, tentu saja kebebasan seseorang juga dibatasi dengan kebebasan orang lain.

Dalam konteks inilah, di negara demokrasi ada UUD, UU atau sejumlah aturan sebagai rambu-rambu agar semua pihak saling menghormati dan menaati hukum guna menjaga keteraturan sosial (social order).

Dalam buku Sandra Petronio mengenai teori manajemen privasi komunikasi yang berjudul Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclosure (2002) ia menegaskan, harusnya komunikator memiliki pertimbangan dan pilihan peraturan sendiri mengenai apa yang harus dikatakan dan apa yang harus disimpan dari publik.

Kita harus mempertimbangkan dan mengatur pesan yang kita produksi, kita bagikan dan kita distribusikan ke khalayak luas. Manusia semestinya membuat pilihan dan peraturan sendiri, mengenai apa yang harus dikatakan dan apa yang harus disimpan dari orang lain berdasarkan ‘kalkulus mental’ yang didasarkan pada kriteria penting atau tidaknya sebuah pesan.

Kriteria-kriteria ini, mencakup pertimbangan akan orang lain yang terlibat dan juga konsep dirinya. Salah satu pertimbangan yang diprioritaskan adalah apakah hal yang akan dikatakan atau dibagikan di sosial media dapat merugikan orang lain atau tidak.

Manajemen privasi komunikasi, membuat kita akan selalu memiliki kontrol sendiri atas seluruh pesan yang kita bagikan di lini masa media sosial kita.

BEBAS DILUAR BATAS BERUJUNG HOAKS

Hoaks menjadi fenomena di sosial media beberapa tahun terakhir. Fabrikasi dan distribusinya yang kian meningkat seiring memanasnya suhu politik membuat hoaks menjadi hal yang paling menyita perhatian berbagai kalangan dalam menciptakan iklim politik yang kondusif.

Terlebih di masa-masa mendekati puncak kontestasi politik tahun ini, kondusivitas politik kita juga di ujung tanduk, rawan turbulensi. Di Pemilu kali ini, media sosial menjelma tak semata sebagai kanal komunikasi warga, tapi sudah menjadi salah satu ‘alat berperang’ yang utama. Media sosial menunjukkan wajah Janus-nya. 

Dalam mitologi Yunani, Janus digambarkan sebagai dewa bermuka dua dan menghadap ke arah yang berlawanan. Satu wajah ke depan, melambangkan optimisme dan kebaikan. Satunya lagi ke belakang melambangkan kegelapan, keburukan, dan pesimisme.

Di masa-masa seperti ini, pengguna media sosial banyak yang lupa daratan. Mereka merasa bahwa lini masa media sosial adalah miliknya, lantas seolah-olah dia berhak mengekspresikan apa saja yang dimaui dan dipikirkannya.

Jika melihat banyak kasus, tidak bijaknya seseorang bermedia sosial bukan disebabkan tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan, melainkan mental penggunanya. Beberapa contoh kasus menunjukkan bahwa potensi masalah bisa dialami siapa saja yang menggunakan media sosial melewati batas hukum dan etika.

Terlebih untuk kedua kubu pendukung masing-masing pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024. Kadung fanatik, rambu-rambu etika bermedia sosial menjadi kabur di mata mereka.

Dengan mudahnya mereka “menyerang” kubu seberang dengan segelintir informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sialnya, orang-orang yang berada di “tengah” juga mudah percaya dengan seliweran berita tersebut.

Kebebasan berekspresi pun akhirnya menjadi alasan terkuat bagi mereka untuk bisa seenaknya di media sosial. Manajemen privasi dan batas etika di sosial media sudah tak lagi eksis.

POLISI BERUPAYA, KITA MASIH SAMA

Saya yakin, hingga tulisan ini diterbitkan, pihak Kepolisian Republik Indonesia masih berupaya ekstra guna menggelorakan bijak bermedia sosial. Polda Kaltim pun demikian. Mulai sosialisasi formal, kampanye atraktif penuh hiburan hingga imbauan langsung ke tengah-tengah masyarakat masih terus digalakkan.

Usaha yang telah dilaksanakan Polda Kaltim tak akan ada artinya bila kita sebagai masyarakat tidak bisa mengendalikan diri saat bermedia sosial. Sikap acuh untuk memvalidasi kebenaran berita menjadi momok yang masih menghinggapi diri kita.

Yang harus kita ingat adalah media sosial hanyalah alat atau kanal. Hal fundamental yang membuat kita bisa menjadi bijak dalam bermedia sosial ialah menguatkan manajemen privasi dan mengingat betul batas etika.

Karena jika dahulu citra dan reputasi orang akan dipengaruhi apa yang diucapkannya, saat ini bisa jadi citra dan reputasi seseorang akan sangat ditentukan oleh apa yang ditulis dan dibagikan di lini masa media sosialnya. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *