Pemilu Jujur dan Adil Hukumnya Wajib
Oleh: Harry F. Darmawan
PERSAINGAN dua pasang patriot negeri memperebutkan kursi RI 1 sudah menuju puncaknya. Banyak yang memprediksi, persaingan Joko Widodo sebagai Petahana dengan Prabowo Subiyanto sebagai Penantang akan lebih panas dibanding edisi sebelumnya.
Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagai asas utama pemilihan umum menjadi sorotan di edisi kali ini. Utamanya pada asas jujur dan adil. Melihat perjalanan politik negeri ini jelang hari pemungutan suara, panasnya suhu politik mengancam terwujudnya dua asas tersebut.
Tentu saja kita sangat mendambakan Pemilu kali ini berjalan sesuai dengan asasnya. Masalahnya, banyak yang menganggap perang argumen tentang siapa yang paling layak memimpin Indonesia 5 tahun ke depan, baik yang terjadi secara langsung maupun di jagat maya, dapat mengubah Pemilu jujur dan adil menjadi mimpi yang sulit diwujudkan.
Lalu, benarkah demikian?
BEDA PILIHAN TAK BERARTI MUSUH
Tak ubahnya sebuah lomba, menang atau kalah adalah hal yang biasa. Sekeras apapun persaingannya, usai keluar hasilnya, harusnya pihak-pihak yang bersaing bisa berjabat tangan.
Lihat saja sepakbola. Olahraga terpopuler di dunia ini sarat akan persaingan. Baik klub sepakbolanya, para pemainnya, hingga para suporternya saling bersaing untuk menjadi yang terbaik.
Di Spanyol kita mengenal rivalitas Real Madrid dan Barcelona. Di Inggris kita tahu Manchester United dan Liverpool adalah dua klub yang jika bertanding, atmosfernya selalu panas. Di Indonesia, ada Persija Jakarta dan Persib Bandung yang juga kerap saling klaim sebagai yang terbaik.
Lalu, apakah di luar lapangan hijau mereka juga menjadi musuh? Nyatanya tidak. Bahkan sesaat usai peluit panjang, keduanya tetap bisa saling berjabat tangan. Itu semua karena mereka sadar, yang dihadapi bukanlah musuh dalam arti sebenarnya. Kubu seberang hanyalah lawan, bukan musuh.
Setiap persaingan memang harus ada lawannya. Tapi lawan bukanlah musuh. Saya memaknai, musuh hanya ada di peperangan. Toh, sesengit apapun perang, kedua kubu juga bisa berdamai, kan?
Anggapan seperti harusnya juga berlaku dalam menyikapi persaingan politik. Kita sebagai pemegang hak suara harus sadar betul bahwa mereka yang mendukung paslon lawan bukanlah musuh kita.
Menurut Ahli Sosioligi asal Amerika Serikat Robert E. Park dan Ernest W. Burgess, persaingan adalah sebuah interaksi tanpa kontak sosial. Tanpa kontak sosial. Jadi, seyogyanya kita tak menganggap mereka yang berbeda pilihan politik sebagai musuh.
MERAJUT KEBHINNEKAAN ALA POLRI
Terpecahnya warga Indonesia menjadi dua kubu pada Pemilu kali ini membuat Polri sebagai institusi penjamin keamanan dan kondusivitas dalam negeri bekerja ekstra.
Polda Kaltim yang berwenang atas penegakkan hukum dan jaminan keamanan di wilayah Kalimantan Timur juga demikian.
Institusi yang dipimpin oleh Irjen Pol. Priyo Widyanto ini melakukan banyak hal untuk meminimalisir potensi gesekan antar kedua kubu. Mulai menggaungkan persaudaraan antar anak bangsa, bersinergi dengan para tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat, hingga merajut ke-Bhinneka-an sebagai pedoman sosial dalam kehidupan bermasyarakat terus digalakkan.

Polda Kaltim juga berkomitmen dalam mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Mereka akan mengawal seluruh proses Pemilu 2019 hingga penetapan hasilnya oleh KPU. Berbagai langkah dan strategi juga disiapkan untuk mengantisipasi potensi kecurangan, baik di TPS sampai pengumpulan dan rekapitulasi suara.
BANTU WUJUDKAN PEMILU JURDIL
Setelah berbagai langkah ditempuh berbagai pihak, berarti tinggal kita yang juga bisa berperan mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Kita bisa mulai dari hal yang paling sederhana: tidak mudah terpengaruh oleh berita-berita yang belum terbukti kebenarannya.
Kita juga bisa ikut mengawal jalannya pemungutan suara pada 17 April mendatang. Meskipun sudah ada petugas KPPS di setiap TPS, kita bisa ambil bagian dengan membantu melancarkan tugas mereka.
Dan yang terpenting, gunakan hak suara Anda. [*]