Agar Polri Semakin Promoter
Oleh: Harry F. Darmawan
BULAN ini, institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dirundung bahagia karena telah memasuki usia ke 73 tahun. Evaluasi dan pengembangan personel menuju perwujudan visi Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian “Polri Promoter (Profesional, Modern dan Terpercaya) terus digalakkan di momentum ini.
Belum sebulan usai berulang tahun, kebahagiaan itu sedikit tercoreng akibat adanya peristiwa penembakan polisi oleh rekannya sesama polisi di Depok. Diketahui, kejadian itu menimpa Bripka RE, personel Samsat Polda Metro Jaya, di ruang SPKT Polsek Cimanggis, Depok, Kamis (25/7/2019) kemarin.
Menurut pemberitaan di media mainstream, kejadian ini bermula saat korban (Bripka RE) mengamankan pelaku tawuran. Tak lama kemudian orang tua pelaku tawuran datang ke Polsek Cimanggis bersama dengan Brigpol RT, paman dari pelaku tawuran.
Lalu Brigpol RT meminta kepada korban agar pelaku tawuran itu dibina oleh keluarga, tetapi permintaannya ditolak korban dengan ucapan bernada keras. Amarah Brigpol RT pun berkecamuk. Ia beranjak dari ruang SPKT Polsek Cimanggis lalu menembak korban sebanyak 7 kali.
Bripka RE pun meninggal dunia di tempat. 7 selongsong peluru tembakan tersangka tepat bersarang di bagian leher, dada, perut dan paha korban.
Tentu kejadian ini sangat disayangkan. Kegagalan mengendalikan emosi bisa mengubah perwira Polri yang seharusnya menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat menjadi seorang pembunuh.
Polisi merupakan jabatan publik teladan masyarakat yang terkait dengan tugas-tugas kemanusiaan. Dalam bukunya yang berjudul The Extraordinary Equitable Jurisdiction of the Supreme Courts of Scotland, Stephen Thomson menuliskan, aparat Polri, selain jaksa, hakim, dan advokat, merupakan profesi yang sangat mulia dan terhormat (officium nobile) di mata masyarakat.
Atas kejadian ini, harus ada evaluasi terkait pengendalian mental personel Polri, baik saat bertugas maupun tidak. Di titik ini, proses rekrutmen awal untuk dapat menjadi anggota Polri di semua jejang kepangkatan, Polri harus mengutamakan model pendekatan kekuatan mental dan psikis, bukan hanya kecerdasan dan keterampilan fisik.

Di tengah tantangan semakin beragamnya kejahatan imbas perkembangan teknologi, polisi harus memiliki keterampilan mengelola emosi. Seluruh personel polisi harus sadar bahwa bekal senjata yang dimilikinya, hanya digunakan untuk melaksanakan tugas mencegah dan menindak kejahatan.
Model rekrutmen anggota polisi dengan mengutamakan kekuatan karakter dan psikis ini sudah diterapkan di Inggris. Kurikulum pendidikan rekrutmen polisi yang diterapkan seperti menguatkan selera humor, keterampilan komunikasi, kemampuan adaptasi, logika awam, asertivitas, sensitivitas, toleransi, integritas, kemampuan baca tulis, kejujuran, dan kecekatan memecahkan masalah. Bukan pada kemampuan fisik belaka.
Kurikulum ini bisa diadaptasi di Indonesia, mengingat tugas polisi terkait dengan tugas-tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang menuntut kekuatan nalar dan ketajaman sisi kemanusiaan. Itulah sebabnya dalam diri polisi melekat karakter yang keras dan tegas, tetapi juga lembut jiwanya dan santun perilakunya.
PEMBINAAN ANGGOTA
Berikutnya institusi Polri perlu membenahi aspek pembinaan karier. Harus diakui, salah satu profesi yang cukup berat dan penuh risiko serta tekanan yang tinggi ialah polisi. Sebab ekspektasi publik pada polisi sangat tinggi.
Polsi dituntut tidak hanya bisa melindungi masyarakat dan menjaga ketertiban sosial, tetapi juga memiliki kemampuan dalam menyelesaikan aneka model kejahatan di tengah masyarakat yang serba cepat berubah.
Hal ini memungkinkan aparat Polri mendapat tekanan yang tinggi dari masyarakat, yang membuat daya psikis polisi sangat mudah stres dan tak jarang berperilaku temperamental.
Dalam kondisi demikian, diperlukan model dan sistem pembinaan karir yang berbasis pada kekuatan karakter dan kecerdasan emosi yang terus dijaga dengan cara melakukan pembinaan mental-psikis, disertai dengan kecakapan dalam mengelola emosi.
Untuk itu, perlu adanya uji psikologi pada semua anggota polisi minimal setiap tahun dan pada saat kenaikan jejang jabatan dan pangkat kariernya, dengan merancang modul dan silabus serta pelatihan spesifik di bidang kekuatan karakter dan mental.
Agar pembinaan karir anggota Polri dapat berjalan simultan dan fokus, perlu mendorong dilakukan desentralisasi di tubuh Polri karena ternyata kebijakan yang terkonsentrasi di pusat membuat aneka gerak dan langkah kebijakan di daerah sangat lamban.
Padahal, tantangan kejahatan dan aneka konflik sangat berbeda di setiap daerah, terutama di Jawa dan luar Jawa. Dengan melakukan desentralisasi, semua arah kerja polisi di setiap daerah akan lebih fokus dan tepat sasaran.
KECAKAPAN BERKOMUNIKASI
Guna mewujudkan Polri Promoter, memperkuat basis komunikasi antara atasan dan bawahan, serta di antara rekan sejawat juga perlu ditingkatkan. Dalam banyak kasus, perilaku brutal dan sadis seseorang sangat erat kaitannya dengan kondisi kejiwaannya dalam rentang waktu yang lama.
Pencegahan potensi luapan emosi berlebih dapat dilakukan dengan mengontrol diri sendiri, serta mengontrol rekan kerja. Aparat Polri yang mengidap penyakit kejiwaan abnormal (schizophrenia) sesungguhnya dapat diawasi rekan sejawat dan atasan, dengan cara saling mengontrol dan mengingatkan untuk membantu menyelesaikan aneka masalah yang tengah dihadapi.
Di titik ini sesungguhnya sikap peduli, toleran, dan menghargai antar sesama polisi di semua tingkatan dapat meredam potensi luapan emosi.
Itulah sebabnya model kepemimpinan Polri menjadi penting untuk diarahkan pada kekuatan peduli dan soliditas antaranggota Polri menjadi satu keluarga besar sebagai manifestasi dari prinsip Polri: Tri Brata dan Catur Prasetya.
Polri yang dapat berperan kuat dalam pengayoman, perlindungan, dan pelayanan masyarakat serta menjadi contoh Polri Promoter harus terlebih dahulu memperkuat soliditas antar sesama anggota untuk saling peduli dan mengasihi agar terhindar dari perilaku kejiwaan yang brutal dan sadis. [*]