Menyoal Kebakaran Hutan
Oleh: Harry F. Darmawan
Kebakaran hutan laksana sekeping uang logam. Satu sisi menampakkan wajah geram dan amarah yang berkobar-kobar. Sisi yang lain menampakkan seringai wajah culas, serta tepuk dada bangga yang bukan pada tempatnya.
Begitulah pada galibnya, peran protagonis prolingkungan hidup dan antagonis sang perusak dan pembabat hutan, hidup berdampingan. Sebuah fenomena yang terjadi tidak saja pada kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, tetapi juga kasus serupa di berbagai belahan dunia.
Dalam berbagai publikasi kita membaca keterangan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, ihwal kebakaran hutan.
Bukan sekali-dua kali dia melansir pernyataan bahwa kasus kebakaran hutan di Indonesia 99% akibat perilaku manusia. Terbanyak ialah manusia yang dibayar. Angkanya mencapai 90%. Tidak mengherankan, jika yang tersaji kemudian ialah habis kebakaran hutan, terbitlah lahan dan kebun. Fenomena itu bahkan bisa disebut sebagai pola.
Untuk dan atas nama generasi penerus, selayaknya kita berdiri tegak pada posisi yang menentang. Untuk dan atas nama legacy bagi anak cucu, kita harus berdiri tegak pada posisi memerangi segala praktik pembakaran hutan secara ilegal dan semena-mena.
Jika Bung Karno mengatakan, kita harus hidup di taman sarinya dunia, Indonesia harus menjadi bagian dari bangsa-banga lain memerangi kebakaran hutan. Karenanya, kita pun prihatin dengan kasus kebakaran hutan di Amazon, Brasil. Juga di Siberia, Spanyol, Thailand, dan banyak negara lain. Tak pelak, sikap warga dunia pun satu-dalam-kata: Perangi pembakaran hutan! Jaga alam (agar) alam jaga kita.
Baru-baru ini, tim penelitan gabungan Harvard University dan Columbia University memublikasikan kajian dampak kesehatan bencana kebakaran hutan dan gambut pada negara-negara di Asia.
Kajian berjudul Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration, dipublikasikan 24 Juli 2019 di jurnal internasional Geohealth.
Menurut peneliti Harvard University, Tina Liu, jika pengendalian kebakaran hutan tidak maksimal, dalam jangka panjang kematian dini yang ditimbulkan dapat mencapai angka 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak selama 2020 hingga 2030. Dari angka tersebut, 92% kasus kematian dini diperkirakan terjadi di Indonesia, 7% di Malaysia, dan 1% di Singapura.
Kebakaran hutan dan lahan juga menggerus aktivitas perekonomian. Jumlah kerugian pada 2015 sebesar USD 16,1 miliar. Malapetaka asap juga menerobos Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Sudah selayaknya, riset-riset seperti yang dilakukan Harvard dan Colombia University ditingkatkan ke riset serta kajian sosiologis dan antropologis. Sebuah riset bagaimana mengubah perilaku manusia yang merusak alam, termasuk pembakar hutan.
Sanksi tegas ialah keniscayaan yang harus diperjuangkan. Pihak korporasi yang terbukti melakukan aksi pembakaran, misalnya, harus membayar biaya water bombing atau pemadaman api menggunakan helikopter, kepada negara. Jika perlu, dicabut izin korporasinya.
Yang tak kalah penting menggelindingkan gerakan mengubah perilaku manusia, dimulai dari aparat TNI-Polri, gubernur, bupati, camat, hingga kepala desa.
Melihat fenomena kebakaran hutan dan lahan (karhutla), bebannya tak mungkin dipikul semata-mata oleh BNPB, tetapi gotong royong pemerintah membentuk Satgas Karhutla lintas kementerian. Menko Polhukam, Menko PMK, dan Menko Perekonomian berperan sebagai koordinator dengan wakil dari unsur TNI dan Polri.
Satgas ini setidaknya memiliki tiga pembagian utama. Pertama, bidang pencegahan yang bertugas sosialisasi dan mengubah perilaku masyarakat. Bagian kedua pemadaman, bertugas menyiapkan peralatan pemadaman, termasuk mobilisasi pemadaman di darat dan melakukan water bombing. Bagian ketiga bidang penegakan hukum. Bagian ini bertugas menangkap, menindak pelaku, dan menghukum (baik perorangan maupun korporasi).
Pihak perguruan tinggi berikut akademisinya wajib mengambil peran melakukan kajian sosiologi dan antropologi terkait dengan perilaku manusia membakar lahan dan hutan, disesuaikan kondisi daerah masing-masing: Apa penyebab perilaku manusia itu dan bagaimana mengubahnya.
POLDA KALTIM BERGERAK
Jajaran Polda Kaltim tidak bisa diam melihat fenomena karhutla yang berulang ini. Segera, mereka menyusun berbagai agenda dan strategi dalam pencegahan, penindakan, dan penanggulangan karhutla.
Urusan pencegahan, Polda Kaltim dan Polres jajarannya aktif melaksanakan patroli, memasang spanduk imbauan, serta melakukan penyuluhan terus menerus ke masyarakat oleh tim terpadu Karhutla (kebakaran hutan dan lahan).
Imbauan pencegahan kebakaran hutan ini tak hanya disampaikan melalui media, akan tetapi di setiap kesempatan melalui Polsek-polsek di Kecamatan. Polda Kaltim pun juga melakukan kerjasama dengan TNI. Jadi tak hanya sosialisasi terbuka saja kepada warga, akan tetapi sampai menyambangi rumah warga.
Soal penindakan, Polda Kaltim dan jajaran juga berhasil mengungkap kasus kebakaran hutan ini di beberapa wilayah. Di Kabupaten Paser, Polres Paser berhasil menangkap seorang pelaku pembakar lahan seluas 2 hektare untuk dijadikan sawah.

Sedangkan di Kabupaten Berau, Polres Berau mengamankan 8 orang tersangka yang memang spesialis pembakar hutan. Mereka menggarap lahan mulai 3 hektare, 6 hektare, sampai 20 hektare.

Untuk langkah penanggulangan, Polda Kaltim telah membentuk tim terpadu Karhutla yang bertugas untuk membantu BNPB/BPBD bersama TNI untuk memadamkan api di berbagai wilayah di Kaltim.
Seluruh personel dikomandoi untuk tidak menunggu api membesar. Jika menemukan hotspot (titik panas), harus segera dipadamkan, sekecil apapun apinya.
***
Kebakaran hutan yang berlangsung hampir setiap tahun di berbagai wilayah di Indonesia ini membawa ancaman tersendiri. Pembatalan penerbangan, aktivitas perkantoran dan sekolah diliburkan, kerugian ekonomi, ancaman kesehatan bagi manusia dan hewan, dan masih banyak lagi ancaman yang diakibatkan oleh kebakaran hutan ini.
Ancamannya permanen, maka solusinya juga harus permanen. Kita sebagai warga negara juga harus menaruh atensi di kasus ini. Meskipun keterbatasan waktu dan tenaga membuat kita tidak bisa terjun langsung membantu penanggulangan kebakaran, setidaknya dengan tidak membakar apapun di lahan gambut sudah sangat membantu. [*]