PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMBAKAR HUTAN DAN LAHAN
OLEH: MUHAMMAD NADZIR (Dosen Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Balikpapan)
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan sepertinya terjadi hampir setiap tahun, khususnya saat terjadi kemarau panjang seperti yang terjadi pada saat ini. Kebakaran hutan dan lahan yang biasa disebut dengan Karhutla merupakan suatu bencana yang berakibat kerugian dan pencemaran udara, yang menimbulkan kerugian bukan saja pada masyarakat di wilayah pulau Sumatera dan Kalimantan melainkan berakibat merugikan mencemaran udara bagi masyarakat di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kerugian yang nyata akibat pencemaran udara dari carbon berbahaya hasil Karhutla untuk kesehatan berupa inveksi saluran pernapasan dan juga gangguan penglihatan. Pengaruh Karhutla pada sisi ekonomi juga sangat berdampak, banyak kegiatan ekonomi yang terhenti akibat kabut asap yang menyelimuti jalan dan ladasan pacu penerbangan, baik penerbangan sipil maupun militer, demikian halnya juga terjadi pada pelabuhan-pelabuhan yang berada diwilayah Sumatra dan Kalimantan sehingga kerugian materiil diperkirakan mencapai angka trilyunan rupiah.
Negara telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjangkau bahaya pencemaran udara akibat Karhutla dan juga larangan membuka lahan melalui pembakaran hutan, serta larangan perusakan hutan termasuk dengan cara membakar, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Pembakaran hutan dan lahan dapat merupakan pelanggaran hak asasi manusia, hal tersebut dikarenakan bahwa lingkungan yang baik dan sehat merupakah bagian dari hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Lebih lanjut mengenai hak asasi manusia terkait hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dinyatakan dalam ketentuan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”.
Larangan pembakaran hutan dan lahan secara umum masuk dalam katagori larangan melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang: a.melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Adapun tindakan perusakan lingkungan dengan melakukan pencemaran udara melebihi baku mutu ambien, dengan cara membakar hutan atau lahan merupakan tindak kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 97 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adapun sanksi pidananya berupa ancaman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun dan denda minimal 3 milyar dan maksimal 10 milyar, hal tersebut diatur dalam Pasal 98 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tindakan pembakaran hutan bisa juga merupakan modus dalam melakukan pembalakan liar yaitu kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisir, kegiatan pembalakan liar merupakan bagian dari perusakan hutan, dan pembalakan liar merupakan kejahatan dan ancaman pidananya berupa pidana paling singkat adalah 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit 500 juta dan paling banyak 2,5 Milyar sebagaimana diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan. Dengan demikian jika tindakan membakar hutan dimaksudkan untuk mengambil dan memanfaatkan hasil hutan kayu dengan melawan hukum termasuk dalam katagori tindak kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan.
Meskipun hasil investigasi sementara terhadap kejadian kebakaran lahan dan hutan yang terjadi pada tahun ini di Sumatera dan Kalimantan, 90 persen atau lebih adalah kebakaran hutan, namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa tidak sedikit luasan lahan perkebunan yang terbakar atau sengaja dibakar dalam upaya pengelolaan perkebunan. Pengelolaan lahan perkebunan dengan cara membakar lahan merupakan larangan berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang menyatakan bahwa “Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengelola lahan dengan cara membakar”. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka ancaman hukumannya berupa pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 10 milyar, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Dengan demikian telah terdapat perangkat hukum yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penegakan hukum terkait kejadian luar biasa Karhutla yang terjadi tahun ini, mengingat Karhutla merupakan bencana yang harus segera ditangani, karena merugikan banyak pihak seperti anak-anak sekolah, pelaku usaha dan masyarakat secara umum serta negara tetangga, maka sebaiknya suluruh komponen masyarakat ikut serta mendorong kepada penegakan hukum seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang dan ataupun penyidik kepolisian negara republik Indonesia untuk melakukan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dengan menemukan dan menangkap pelaku pembakaran hutan dan lahan untuk dibawa kemeja hijau dalam rangka pempertanggungjawabkan perbuatannya dan demi tegaknya hukum dan keadilan dalam lingkup lingkungan hidup, kehutanan dan perkebunan, sehingga rasa keadilan masyarakat dapat terwujud.