Menjadi Pancasila
Oleh: Harry F. Darmawan
Hari-hari ini kita disuguhkan berbagai persoalan bangsa. Negeri ini seolah tidak pernah dibiarkan tenang karena terpaan berbagai persoalan yang datang bertubi-tubi.
Tanah Papua yang kita cintai bersama hingga saat ini masih bergejolak. Sepertinya, ‘rasa aman’ ialah harga yang teramat mahal untuk diwujudkan di Tanah Papua.
Kebakaran hutan di wilayah Kalimantan dan Sumatra juga sangat memilukan hati. Udara segar yang menjadi sangat mahal untuk dihirup karena ulah pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Di beberapa kota besar di Indonesia mahasiswa dan elemen masyarakat sipil beraksi menyampaikan tujuh tuntutan. Regulasi yang seharusnya memberi rasa aman bagi setiap warga negara, justru berpotensi menjadi alat pemukul bagi siapa saja yang kritis. Mereka bergerak karena peduli terhadap masa depan bangsa ini dan cinta terhadap republik ini.
Dari berbagai persoalan yang begitu mengganggu ruang hidup seluruh bangsa, tampak jelas bahwa Pancasila sebagai dasar negara belum menjadi pijakan dalam merawat kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial tidak menjadi rujukan dan dipinggirkan.
Ruang politik yang idealnya menjadi ruang aktualisasi bagi penguatan kebijakan kebangsaan yang memperhatikan aspirasi masyarakat, justru menampakkan wajah yang sebaliknya.
Terlalu banyak drama politik yang dihadirkan para elite politik. Tugas mereka untuk mengawal aspirasi masyarakat belum sepenuhnya dilakukan. Padahal, setiap saat masyarakat memantau apa yang mereka tampilkan.
TERLAMPAU NORMATIF
Jika kita refleksikan kondisi saat ini, sangat jelas bahwa pemahaman normatif mengenai nilai-nilai Pancasila tidaklah cukup. Di masa lalu nilai-nilai Pancasila diberikan kepada masyarakat dengan bobot normatif yang terlalu besar. Setelah mengikuti penataran P4 dan hafal butir-butir Pancasila seolah masyarakat sudah menjadi sosok yang Pancasilais.
Dari situ jelas terlihat bahwa pemahaman dan laku Pancasila tidak hanya bisa dilakukan dengan pola-pola pendidikan atau pelatihan yang hanya menguatkan kognitif. Tidak cukup dengan menghafal sila-sila, butir-butir, atau mengetahui sejarah lahirnya Pancasila.
Pengetahuan yang didapat memang penting untuk memberi konteks bahwa konsepsi Pancasila merupakan kesepakatan bersama dan sangat cocok untuk Indonesia yang beragam.
Narasi Pancasila sebagai fundamen kehidupan bangsa tidak hanya bisa dipaksakan sebagai nilai-nilai ideal yang cenderung sulit untuk dilakukan. Pancasila dalam perbuatan harus hadir dalam berbagai aktivitas anak bangsa.
Pada titik ini, sering kali beban bagi penguatan Pancasila diberikan kepada lembaga pendidikan. Padahal, ruang pendidikan hanyalah salah satu cara untuk menguatkan Pancasila karena justru yang paling penting ialah menguatkannya pada ruang-ruang keseharian. Pada praktik-praktik aktual yang tampak di keseharian.
Sementara ini memang bobot terbesar untuk menguatkan Pancasila lebih banyak diberikan di sekolah. Pada kajian akademik yang cenderung normatif dan menegasikan praktik.
Efeknya, selalu ada jarak antara nilai-nilai Pancasila yang diajarkan dan laku keseharian karena secara praktikal nilai-nilai Pancasila tersebut terasa berat untuk dilaksanakan.
Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di masa lalu, misalnya, sangat dianggap mudah dan cenderung disepelekan. Misalnya saja, dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika ujian siswa akan memilih jawaban yang paling panjang karena memang itu yang paling benar. Siswa dilatih untuk mengetahui hal yang benar, tetapi tidak terlatih melakukannya.
Saat ini kita cenderung gagap menghadapi berbagai situasi kompleks yang hadir. Maraknya penggunaan teknologi, tata nilai yang berubah, dan berbagai situasi lainnya membuat kita kesulitan untuk menghadapinya. Bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat dioperasikan dalam kehidupan keseharian menjadi perlu terus disesuaikan dengan langgam zaman.
PRAKTIK YANG UTAMA
Oleh sebab itu, yang perlu dikuatkan ialah pada level operasionalisasi nilai-nilai. Biarkan nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan atau beroperasi dalam laku keseharian Pancasila yang disemai melalui berbagai proses pendidikan di sekolah, keluarga, masyarakat, bahkan di dunia maya.
Sangat banyak contoh yang dapat membuktikan betapa sesungguhnya negeri ini belum habis stok aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Tentang bagaimana orang-orang Papua yang melindungi para pendatang ketika terjadi kerusuhan di Wamena ialah contoh nyata dari pengejawantahan nilai Pancasila yang sesungguhnya.
Apa yang dilakukan tersebut ialah bentuk kemanusiaan yang adil beradab dalam hakikat yang sesungguhnya. Situasi konflik tidak membuat kemanusiaan hilang. Pada dasarnya manusia harus menolong manusia lain bagaimanapun kondisinya.
Atau di ruang maya, pemanfaatan aplikasi kitabisa.com yang selama ini digunakan untuk membantu individu atau kelompok yang dalam kesulitan dapat menjadi contoh nyata dari implementasi nilai keseharian.
Melalui aplikasi tersebut, berbagai bantuan dapat diberikan kepada siapa pun yang membutuhkan tanpa melihat latar belakang agama, kelompok, suku, ataupun identitas lainnya. Hanya dengan sekali klik, begitu banyak individu atau kelompok yang tertolong.
MASIFKAN PANCASILA
Pengaplikasian Pancasila dalam kehidupan sehari-hari memang bukan hal yang mudah, dan itu harus diakui. Tetapi, sesuatu yang sulit tidak berarti mustahil. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah efektif dalam penyebaran dan peningkatan pemahaman pentingnya berkehidupan Pancasila di masyarakat.
Pemerintah memang bertanggungjawab penuh atas hal ini. Tapi, berbagai instansi, perusahaan, bahkan tiap-tiap dari kita bisa ikut ambil bagian dalam kampanye tersebut.
Seperti yang sudah dicontohkan oleh Polda Kaltim. Sepenelusuran saya, Polda Kaltim aktif dalam berbagai kegiatan yang saya lihat sudah berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Jika diurut berdasarkan sila-nya, penerapan sila pertama dijawab Polda Kaltim lewat rutinitas safari sholat subuh berjamaah dan safari Jumat. Kegiatan yang mewajibkan seluruh pejabat utama Polda Kaltim untuk sholat berjamaah bersama masyarakat umum di berbagai masjid di Balikpapan ini diharapkan dapat dicontoh oleh para personel lain, maupun warga Kaltim untuk tetap menunaikan kewajiban sebagai umat beragama di tengah padatnya aktivitas masing-masing.

Masjid Darul Qohar Balikpapan, Rabu (25/09/2019).
Pengejewantahan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab oleh Polda Kaltim dapat dilihat dari bagaimana cara mereka mengamankan aksi unjuk rasa mahasiswa yang berisi 7 tuntutan di beberapa daerah di Kaltim.
Saat itu, Wakapolda Kaltim Brigjen Pol. Drs. Eddy Sumitro Tambunan, M.Si yang terjun langsung memimpin pengamanan aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Provinsi Kaltim mengamanatkan setiap anggotanya untuk tidak melakukan kekerasan terhadap mahasiswa dan melarang membawa senjata apapun, baik senpi maupun pentungan.

Jangan sampai bergerak sendiri-sendiri, harus dalam ikatan, apabila ada teman kita yang terpancing emosi, ingatkan. Tidak ada yang menggunakan senpi. Lakukan pelayanan kepada adik-adik kita dengan baik. Kalimat arahan Wakapolda Kaltim tersebut sudah cukup menggambarkan pengamalan kemanusiaan yang adil dan beradab ini.
Sedangkan sila Persatuan Indonesia tercermin dari agenda rutin Polda Kaltim bersilaturahmi dengan berbagai kelompok masyarakat. Mulai dari tokoh agama, tokoh adat sampai forum lintas agama, sinergi antara mereka dengan Polda Kaltim sudah terjalin dengan sangat baik.

***
Pancasila dalam perbuatan hanya bisa hadir dengan upaya keras dari segenap pihak-pihak yang menyadari bahwa lima sila yang ada sangatlah penting dalam memandu langkah bangsa ini di masa kini dan masa depan. Perwujudan nilai-nilai Pancasila harus melekat dalam setiap jejak langkah anak-anak bangsa. [*]