Artikel

Memahami Hak Asasi Seutuhnya

Oleh: Harry F. Darmawan

Sampai saat ini saya masih melihat berbagai peristiwa yang berdasar pada pemanfaatan hak asasi manusia yang justru mengganggu hak asasi manusia lainnya santer terjadi. Contoh paling sederhana dari peristiwa tersebut yang paling mudah kita temui adalah penggunaan speaker.

Sebenarnya saya jadi teringat kasus ini usai saya membaca satu berita yang terbit di laman CNN Indonesia pada 15 Desember kemarin berjudul “Speaker Kalah Keras, Ormas Penolak DWP Bubarkan Diri”.

Tapi yang saya ingat bukan dalam konteks serupa. Melainkan penggunaan speaker di rumah warga (yang sedang mendengarkan musik) dengan volume tinggi. Mendengarkan musik dengan volume tinggi tentu merupakan hak asasi warga tersebut. Tetapi di sisi lain, ada hak orang lain yang dilanggar dari kebiasaan itu, yakni hak untuk berada dalam kondisi yang hening.

Lain hal bila orang lain yang jadi “ikut mendengar” musik tersebut suka dengan musiknya. Pelanggaran hak gugur nilainya, karena ia ikut menikmati. Kasus itu terjadi apabila orang lain itu merasa terganggu dengan musik yang diputar.

Untuk memahami pemanfaatan hak asasi manusia yang tidak melanggar hak asasi manusia lainnya memang tidak mudah, bahkan sangat sulit. Dibutuhkan kedewasaan, kemampuan berpikir dan mungkin kemampuan analisa sosial serta kontrol arogansi diri.

Saya sendiri belum bisa memastikan apakah penggunaan hak asasi saya tidak melanggar batas hak asasi orang lain. Maka dari itu, saya ingin mengajak seluruh pembaca tulisan ini untuk paling tidak memahami pemanfaatan hak asasi yang baik, tanpa embel-embel benar. Karena tadi, saya belum tahu yang benar seperti apa.

DEFINISI HAM

Untuk memahami HAM, kita perlu tahu dulu apa definisi HAM. Dari yang pernah saya baca, HAM menurut Jan Matersondari (komisi hak asasi manusia PBB) adalah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya, manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.

Lebih lanjut Mantan Jaksa Agung Republik Indonesia periode 6 Juni 2001 sampai akhir hayatnya pada 3 Juli 2001 Baharudin Lopa menambahkan, pada kalimat “mustahil dapat hidup sebagai manusia” hendaklah diartikan sebagai “mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab”.

Alasan ditambahkan kata ‘tanggung jawab’ ini, di samping manusia memiliki hak, juga memiliki tanggung jawab atau kewajiban asasinya atas segala yang dilakukannya. Seperti yang kita tahu, hak selalu hadir dengan tanggung jawabnya di sisinya. Inilah poin penting bagi kita untuk tidak melanggar hak orang lain saat kita menggunakan hak kita.

Tanggung jawab ini juga berelasi dengan kewajiban yang harus ditunjukkannya. Jika kewajiban ini konsisten dilaksanakan, berbagai bentuk pelanggaran hak terhadap warga negara, baik yang dilakukan secara individual maupun korporatif bisa dipertanggungjawabkan.

POLISI DAPAT BERPERAN

Karena minimnya sosialisasi atau ajakan untuk memahami penggunaan hak yang baik, saya rasa kepolisian dapat mengambil peran tersebut. Saya beranggapan konflik hak ini dapat mengancam kondusivitas, baik skala kecil maupun besar.

Di kota tempat tinggal saya Balikpapan, Polda Kaltim sebagai otoritas penegakkan hukum dan penjaga stabilitas domestik dapat mulai memikirkan hal ini. Memang Balikpapan dikenal sebagai salah satu kota dengan kondusivitas terbaik di Indonesia.

Namun ini bukan jadi jaminan bahwa ke depan, tidak akan ada gesekan antar masyarakat yang dipicu oleh konflik hak tersebut.

Polda Kaltim dapat mengambil tindakan preemtif dan preventif guna meng-handle ini. Dasar yang bisa diambil dalam menindak konflik hak yang bisa diambil Polda Kaltim adalah Pasal 28 I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Selain itu, Pasal 28 A juga bisa menjadi pedoman, karena secara khusus menyebut bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Jika menemukan pelanggaran hak, Polda Kaltim dapat menindak pelaku dengan dalil yang dimuat dalam Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ayat (1) yang mempertegas bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Pasal 9 itu dapat dikembangkan interpretasinya bahwa setiap orang wajib dijauhkan dari kondisi yang berpotensi membahayakan atau mengancam hak hidupnya.

Pengembalian marwah penggunaan hak asasi ini mungkin akan dapat membantu menyokong pilar stabilitas kamtibmas di wilayah hukum Polda Kaltim. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *