Artikel

Mural, Kriminalisasi, dan Salah Paham Kita pada Polri

Oleh: Harry F. Darmawan

MARAKNYA perburuan dan naiknya pemberitaan soal penghapusan mural yang bernada kritis menimbulkan kekhawatiran publik, utamanya para seniman. Hal ini seolah menjadi potret muram dan kemunduran Indonesia dalam menghargai kebebasan berekspresi. Norma sopan atau tidak yang samar mampu membuat siapa saja terjerat pelanggaran hukum.

Sejak pertama kali Ir. Soekarno membacakan teks Proklamasi di Jakarta 76 tahun lalu, sampai hari ini, Indonesia sudah mengalami beragam masa dan perubahan pemerintahan. Dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi.

Namun, sudah lebih dari dua dekade reformasi bergulir, lima presiden sudah berganti, banyak yang beranggapan rasanya angin demokrasi belum begitu terasa segarnya. Ada saja upaya yang membuatnya jadi ringkih bahkan mundur. Salah satunya soal kebebasan berekspresi yang kian hari kian suram.

Tak perlu mundur jauh lima sampai 10 tahun ke belakang. Sepanjang 2020 saja sudah ada 132 kasus yang dicatat oleh Amnesty International terkait dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE. Dari jumlah itu, ada 156 orang yang dijerat, 18 di antaranya adalah aktivis dan empat jurnalis.

Adanya penghapusan mural dinilai membuat potret kebabasan berkespresi di Indonesia juga makin suram. Seolah-olah takut pada gambar, beberapa mural yang viral rama-ramai ditindak. Bukan hanya sekadar menghapus, si seniman pun ada yang diburu. Padahal, gambar itu tak menggigit. Sebagian malah hanya berupa munajat, seperti mural “Tuhan, Aku Lapar” di Tangerang dan “404 Not Found”, yang kini telah dihapus.

Peneliti seni dan curator Chabib Duta Hapsoro dalam diskusi daring yang diinisiasi oleh OMG! My Story mengatakan, selama ini para seniman mural atau graffiti memang secara sadar telah memahami kalau seni mereka sewaktu-waktu akan ditimpa. Entah oleh seniman jalanan lain atau oleh pemerintah. Biasanya alasan pemerintah menghapus mural karena alasan mengganggu keindahan. “Tapi baru kali ini pembuat mural diburu,” sambungnya.

Perburuan pembuat mural oleh Polri inilah yang dianggap sebagai kriminalisasi seni. Belakangan aparat tak cukup menghapus karya seniman jalanan. Lebih jauh lagi, aparat mencari siapa yang membuatnya.

Tapi, benarkah pencarian siapa pembuat mural “404 Not Found” oleh Polri merupakan indikasi akan adanya kriminalisasi seni dan pembatasan kebebasan berekspresi di ruang publik?

Lewat tulisan ini, saya ingin meluruskan pandangan masyarakat kepada Polri yang seharusnya tidak terjadi bila pola komunikasi yang dibangun Polri itu tepat.

SALAH PAHAM MASYARAKAT

Saya pribadi sangat memaklumi bila masyarakat akan berpandangan sinis pada Polri sebagai instansi karena penghapusan mural bernada kritik ke pemerintah dan pencarian si pembuat mural tersebut.

Tapi, saya ingin mencoba mengajak kita lebih obyektif dan bersedia melihat seluruh sisi dari permasalahan ini.

Dari dalam hati saya yang paling dalam, saya meyakini bahwa Polri sama sekali tidak ada masalah sama sekali dengan karya seni, baik itu yang ditampilkan di media sosial maupun di jalanan seperti mural.

Bila Polri memiliki masalah dengan kritik, mungkin kita akan sangat sering mendengar pemberitaan tentang penangkapan pembuat seni sejak beberapa tahun lalu. Tapi ini tidak terjadi, kan?

Jadi, kita harus mencari tahu terlebih dahulu apa tujuan Polri menghapus dan mencari si pembuat mural. Setelah saya cari tahu, saya mendapati alasan Polri akan tindakannya tersebut.

Kepala Analis Cyber Crime Investigation Center Mabes Polri, Kompol Muhammad Yunus Saputra mengatakan, penindakan yang pihaknya lakukan karena karya seni itu sudah disalahgunakan.

Menurutnya, karya seni jika digunakan dengan baik, baik itu kritik, walaupun ada unsur vandalisme, bukan merupakan sebuah masalah. “Makanya dari dulu pun karya seni enggak ada urusan dengan Polisi,” ujarnya.

Tapi, bila karya seni sudah disalahgunakan, sebut Kompol Yunus, maka itu harus ditindak. Misalnya lewat kegiatan kelompok radikan, provokator, dan ujaran kebencian.

Polisi sendiri sudah memastikan bahwa kasus mural “404 Not Found” karya Aeroboy adalah karya seni yang sah, dan tidak ada urusan sama sekali dengan politik dan kelompok radikal.

Namun, karya Aeroboy menjadi salah kala digunakan oleh akun Twitter dengan nama pengguna @OmBrewok3 sebagai bahan provokasi. Bahkan, akun yang menurut Yunus sudah berapa kali di-suspend karena konten provokatif ini membuatnya menjadi kaos.

​”Saya sangat mengetahui @OmBrewok3 ini berafiliasi ke kelompok radikal. Makanya kami melakukan pendalaman. Sifatnya menegur,” tutur Kompol Yunus.

Dirinya meyakinkan, tindakan penghapusan dan pencarian pembuat mural tersebut dilakukan bukan karena mural 404 Not Found menyertakan gambar wajah yang serupa Presiden Joko Widodo. Menurutnya, siapapun yang mengganggu ketertiban dengan menyalahgunakan seni bisa saja ditindak.

Ia menegaskan, Polri tidak melakukan interpretasi. Polri tidak melihat objeknya, tapi afiliasinya. Polri mengamini bahwa tidak ada batasan dalam sebuah karya seni, walaupun ada yang menyalahgunakan. Jadi, polisi tidak menuduh, tapi hanya mencari dan menentukan bukti-bukti.

Contoh kasus serupa juga pernah terjadi sebelumnya. Toni Malakian, seorang kartunis pernah menggambar sebuah komik strip yang menunjukkan insiden penginjakan kepala orang Papua oleh aparat. Kompol Yunus mengaku, dirinya tak menampik karya Toni pernah jadi pantauannya. Musababnya, ada bendera Organisasi Papua Merdeka dalam gambar tersebut.

Setelah pihaknya melakukan penyelidikan, diketahui bahwa komik strip tersebut merupakan karya Toni, orang Indonesia dan seniman, yang tidak berafiliasi pada OPM atau kelompok makar lainnya. Maka Polri menghentikan pantauan tersebut dan membiarkan komik tersebut beredar luas.

Jadi, apa yang sudah dijelaskan oleh Kompol Yunus seharusnya sudah cukup menjadi bukti bahwa Polri sama sekali tidak ada keinginan untuk membatasi karya seni, apalagi memberantas karya seni yang bersifat kritik terhadap pemerintah.

Penghapusan dan pencarian pembuat mural “404 Not Found” murni untuk mencegah adanya penyalahgunaan karya seni untuk agenda-agenda tertentu yang bersifat provokatif dan merusak tatanan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Bagaimana pun, kita harus paham bahwa Polri dibentuk untuk memelihara kondusivitas dalam negeri. Maka, sudah tugas mereka untuk memelihara keamanan dan ketertiban dari berbagai ancaman, termasuk di dalamnya ancaman provokasi dari penyalahgunaan karya seni.

Saya pribadi meyakini, Polri bukanlah instansi yang anti kritik. Polri adalah instansi yang bersedia tetap bekerja baik, meski pandangan dan citra mereka di masyarakat kurang baik.

Polri tetap bersedia menjalankan tugas yang sebenarnya di luar tugas pokok dan fungsi mereka, walau diidentikkan dengan lembaga yang korup dan represif, demi terwujudnya slogan yang selama ini diusung: Menjadi Pelindung, Pelayan dan Pengayom Masyarakat. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *